Pendidikan Alternative Sebagai Upaya Menghadapi Revolusi Industri 4.0


Akan banyak pekerjaan hilang digantikan dengan robot atau kecerdasan buatan karena banyak bidang pekerjaan baru yang muncul. Untuk menghadapinya, pendidikan merupakan salah satu faktor penting untuk mengikiskan berbagai analisa kedepan.
Tantangan pendidikan kedepan adalah, bagaimana menyiapkan sumber daya manusia yang tidak akan tergantikan oleh mesin atau kecerdasan buatan tersebut. Teridentifikasi, pola pendidikan lama kini kurang relevan untuk diterapkan pada generasi saat ini yang terkena dampak langsung distruptif teknologi.
Sebab itu, harus ada upaya pembaharuan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Pembagian jalur pendidikan menjadi Pendidikan Formal, Pendidikan Nonformal, dan Pendidikan Informal pada hakikatnya adalah untuk menuju satu tujuan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun saat ini, dengan kekakuan pendidikan formal, dirasa cukup lambat merespon perubahan zaman tersebut, oleh karenanya harus ada solusi lain, salah satunya melalui Pendidikan Alternatif.
Asal mula istilah Pendidikan alternatif dapat dilihat pada pernyataan para ahli berikut:
1920an (gerakan baru pendidikan di US dan Eropa)
Jhon Dewey (Filsuf, pemikir pendidikan)
Falsafah pendidikan yang mementingkan individu. Menurutnya, tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata dalam kehidupan, oleh karena itu, filsafat pendidikan harus berpijak pada pengalaman, dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara kritis. Sehingga didalam ilmu pendidikan ia menganjurkan teori dan metode learning by doing.
Steiner/Waldorf
Mengembangkan pendidikan yang menekankan pada ekspresi kreatif, nilai nilai social dan spiritual.
Montessori (Dr. Maria Montessori, pendidik dari italia)
Sentral dari metode Montessori adalah kesenangan dalam belajar. Kelas diatur berdasarkan mata pelajaran. Ciri metode ini adalah penekanan pada aktivitas pengarahan, diri pada anak dan pengamatan klinis guru. Metode ini menekankan pentingnya penyesuaian dari lingkungan belajar anak dengan tingkat perkembangannya, dan peran aktivitas fisik dalam menyerap konsep akademis dalam keterampilan praktik. Ciri lainnya adalah adanya penggunaan peralatan otodidak (koreksi diri) untuk memperkenalkan berbagai konsep.
Tahun 1960an
Pendidikan alternative sebagai respon dari krisis sosial
Jhon Coldwell Holt (Pendidik & Penulis pendukung konsep Homeschooling asal Amerika) berkeyakinan bahwa anak-anak yang dilengkapi dengan lingkungan belajar yang luas dan menarik akan membuat anak siap untuk belajar. Selain itu, anak-anak tidak perlu dipaksa belajar karena anak akan melakukannya secara alami jika diberi kebebasan untuk mengikuti kepentingan mereka sendiri dengan berbagai macam sarana dan sumber belajar. Sejak itu konsep homeschooling (pendidikan alternative) terus berkembang ke negara-negara eropa dengan konsep yang juga berkembang dari waktu ke waktu. Masyarakat pun mulai ikut mengikuti karena sebagian menganggap pendidikan formal di sekolah cenderung stagnant.
Freedom School sebagai sekolah alternative diluar  sekolah public biasanya dibuat atas kritik terhadap sekolah pemerintah. Freedom Schools adalah sekolah sementara, alternatif, dan gratis untuk Afrika Amerika yang sebagian besar berada di Selatan . Mereka awalnya bagian dari upaya nasional selama Gerakan Hak Sipil untuk mengatur Afrika Amerika untuk mencapai kesetaraan sosial, politik dan ekonomi di Amerika Serikat . Contoh paling menonjol dari Freedom Schools adalah di Mississippi selama musim panas 1964.
Education within school systems atau sekolah terbuka yang ada disekolah pemerintah untuk melayani siswa dengan kebutuhan tertentu.
Tahun 1980an – Sampai Sekarang
Pendidikan informal adalah pendidikan yang dilakukan dalam keluarga atau lingkungan. Pendidikan ini akan sangat berpengaruh terhadap kualitas anak pada masa yang akan datang. Pendidikan informal ini selain sebagai pendidikan dasar, juga berfungsi sebagai proteksi terhadap pengaruh negative globalisasi. Wilson (1986) dan Little (1998), (dalam Joko Sutarto2007:3).
Gerakan pendidikan alternative menjadi sangat sempit yaitu untuk mendidik anak anak yang bermasalah atau ‘at risk children/youth’ (large & Sletten, 2002, Nagata, 2007)
Pada dasarnya pendidikan alternatif memiliki tugas yang mulia, yakni memberdayakan umat manusia sehingga mampu mengaktualisasikan diri secara penuh dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itulah orang yang menempuh pendidikan alternatif diharapkan mampu memberikan output yang baik terhadap sesama manusia dan lingkungan, serta diharapkan dapat mencetak moral yang baik pula. Sejarah pendidikan alternatif di setiap bangsa banyak mengalami perubahan, seiring dengan perjalanan bangsa itu sendiri, termasuk Indonesia.
Pendidikan kesetaraan hadir sebagai pendidikan alternatif agar supaya masyarakat yang belum menjamah pendidikan formal masih dapat kesempatan yang sama yang secara komprehensif mampu membawa anak putus sekolah dapat melanjutkan sekolahnya.
Pendidikan kesetaraan sendiri hadir sebagai media pelayanan pendidikan nonformal untuk anak yang putus sekolah atau putus lanjut, mensukseskan program pemerintah tentang wajib menempuh pendidikan 9 tahun dan 12 tahun (pendidikan menengah universal), meningkatkan pengetahuan, keterampilan serta menumbuhkan sikap Percaya Diri sehingga memiliki kemampuan yang sama dengan anak yang mempu pendidikan formal, membekali anak dengan sikap Percaya Diri dengan keterangan fungsional untuk kemandirian, membekali sikap Percaya Diri untuk meningkatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi/meningkatkan kariernya.
Sebagai salah satu program dalam pendidikan alternatif, maka pendidikan kesetaraan sendiri memiliki keluwesan dalam membentuk kurikulum yang sesuai dengan perubahan zaman.
Jika pada akhirnya revolusi industri 4.0 ini terjadi, pendidikan kesetaraan akan sesegera mungkin untuk membuat kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik saat ini.
Namun seperti yang diketahui, perhatian pemerintah sendiri masih sangat minim terhadap pendidikan nonformal atau pendidikan alternatif. Hal ini dapat teridentifikasi dari minimnya anggaran untuk pendidikan nonformal di Indonesia, hal tersebut karena konsekuensi dari hampir terserapnya sebagian besar anggaran pendidikan untuk pendidikan formal, walaupun tidak sebanding dengan hasilnya, dapat dilihat dari masih tingginya angka pengangguran dari lulusan pendidikan formal.
di post di koran cuy:v NEXT>>>

Penulis harap, pemerintah mulai dapat melirik jalur pendidikan alternatif ini dan mulai mempertimbangkan untuk memberikan perlakuan yang setara juga, salah satunya adalah anggaran, kepada pendidikan nonformal.


WS TRIYANA