Diplomasi Pentahelix, Hajat Ummat Anti-korupsi

Diplomasi Penta Helix, Hajat ummat anti-korupsi

Oleh: Wandi Sugih Triyana

Indonesia saat ini sedang berada pada kulminasi tertentu, dimana berbagai masalah bertubi-tubi datang menghampiri negeri, seperti epidemi Virus Covid-19 (Corona Virus). Namun hal tersebut tidak menghalangi spirit penulis untuk terus giat menulis isu korupsi yang sembelit kelilit penyakit teknokrat yang buncit! Omnibuslaw, RUU Ketahanan Keluarga, Jiwasraya dll.

Kita kilas balik ke belakang, beberapa waktu lalu isu korupsi menjadi sangat seksi diperbincangkan oleh semua kalangan, dari mulai politisi, akademisi sampai buruh tani ikut andil berdiskusi mengenai polemik korupsi yang terjadi di negeri ini. Bukan tanpa sebab mengapa isu ini menjadi sangat seksi, pada tahun 2019 lalu menjadi kulminasi institusi eksekutif negara yang independen yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah mengalami degradasi kredibilitas secara besar-besaran dalam menjalankan fungsinya yang sangat  fundamental “Memberantas Tindak Pidana Korupsi”.

Beragam spekulasi muncul kepermukaan media dari berbagai diskusi dan opini publik yang mengangkat isu tentang korupsi. Spekulasi awal muncul ketika seorang kepala negara, Bapak Presiden Joko Widodo menyuarakan pentingnya “mereformasi” KPK yang kemudian mengambil langkah untuk merevisi undang-undang KPK dan berujung pada UU no 19 tahun 2019 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menuai kontroversi, setelah DPR berhasil melakukan “operasi senyap” revisi undang-undang KPK pada September 2019 lalu. Berbagai kritik dan aksi berkabung atas pelemahan KPKpun digelar oleh berbagai elemen masyarakat. Namun apa-apa,  ambisi para penguasa dan elit politik untuk melemahkan KPK dari sejak tahun 2010 lalu, akhirnya termanifestasikan ke dalam UU no 19 tahun 2019, hajat teknokrat masturbasi!

Kontroversi yang termaktub dalam UU no 19 tahun 2019 adalah keraguan terhadap independensi lembaga KPK yang berstatus lembaga pemerintah sehinggga pegawai KPK juga berstatus ASN yang tunduk pada UU ASN. Selain dari itu, pada pasal 37A, 37B, 37C, 37D, 37E, dan pasal 37F tentang Dewan Pengawas juga sangat kontroversial dan sangat administratif karena urgensi dari adanya Dewan Pengawas ini tidak lain adalah untuk membuat KPK bertekuk lutut pada penguasa. Bagaimana tidak, Dewan Pengawas bertugas untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, memberikan izin atau tidak memberi izin penyadapan, penggeledahan dan penyadapan (pasal 37B) sedangkan Dewas sendiri terdiri dari 5 orang yang dipilih oleh DPR atas rekomendasi dari presiden kemudian dilantik oleh presiden. Keberadaan Dewas sendiri sebetulnya tidak dibutuhkan sama sekali karena tugas tersebut justru ada di dalam struktural tubuh KPK yaitu Direktorat Pengawas Internal dalam Kedeputian Bidang PIPM, hal-hal yang redundant secara substansi semacam ini sengaja dibuat agar KPK dapat dikontrol oleh penguasa sehingga membuat para aktivis anti-korupsi geram terhadap regulasi ini mengingat impact yang akan timbul dikemudian hari.

Belum genap 4 bulan sejak disahkannya undang-undang no 19 tahun 2019 tentang KPK, publik kembali dihebohkan dengan gagalnya penyidik KPK yang hendak menggeledah kantor DPP PDI-Perjuangan terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) komisioner KPU yaitu Wahyu Setiawan karena kasus suap, yang diduga telah menerima uang suap sebesar 400 juta dari Caleg PDI-Perjuangan, Harun Masiku dan pihak swasta bernama Saeful yang merupakan staff Sekjend PDI-Perjuangan. Ironisnya, bahkan sampai sekarang keberadaan Harun Masiku masih belum diketahui, ada yang bilang disembunyikan bahkan “dilenyapkan” atau mungkin sebenarnya beliau sedang asyik bertamasya ria ke China, climbing bersama Virus Corona. Wallahu a’lam.

Kendati demikian, sebagai masyarakat yang mempunyai angan-angan ideal sebuah negara (Utopian Society) berharap negara dapat menyelesaikan berbagai permasalahan masyarakat dan membakar lumbung masalahnya. Korupsi adalah lumbung permasalahan, kotributor terbesar penyengsara rakyat, penyebab kemiskinan, minimnya akses kesehatan dan rendahnya pendidikan serta sulitnya sebuah negara mencapai telos kesejahteraan. Harus ada formula khusus yang mampu menumbangkan koruptor-koruptor yang rakus akan kemewahan dan kekuasaan, negara harus mampu mengintegrasikan berbagai lembaga dan elemen masyarakat untuk bersama-sama berperan dalam memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.

Diplomasi Pentahelix
Pada tanggal 29 Januari 2019, Transparacy Internasional (TI) merilis Corruption Perseption Index (CPI) atau Indeks Prestasi Korupsi (IPK) yang ke-23 untuk tahun 2018, berdasarkan hasil risetnya pada tahun 2018, Indonesia memperoleh skor 38, naik satu poin dari tahun 2017 lalu yaitu 37 poin sehingga Indonesia menempati peringkat ke-89 dari 180 negara yang TI survey sementara skor rata-rata global adalah 43 poin dan mengalami stagnasi sejak tahun 2015. Hal ini menunjukan integrasi lembaga dan elemen masyarakat harus lebih serius lagi dalam penanganan kasus korupsi jangan sampai mengalami penurunan, sebab pada tahun 2018, Lembaga Survey Indonesia (LSI) mengungkapkan sebanyak 52 persen masyarakat indonesia menilai tingkat korupsi mengalami peningkatan meskkipun secara periodik, tren korupsi menurun selama 2 tahun terakhir. Hal ini justru harus menjadi titik fokus kita karena prestasi tersebut belum dikomparasikan dengan kondisi yang sekarang setelah tragedi pelemahan KPK. Maka upaya-upaya preventif dan kuratif harus terus dilakukan oleh berbagai lembaga dan elemen masyarakat dari mulai pemeritah, masyarakat/komunitas, akademisi/kaum intelektual, swasta/pengusaha dan juga Media yang kemudian dikenal dengan Penta Helix.

Sinergitas Penta Helix merupakan kegiatan kolaborasi/kerjasama anatara berbagai bidang/lini meliputi Gouverment, Community, Academic, Bussines dan Media. Unsur Penta Helix ini awalnya Tripel Helix dengan unsur-unsur Gouverment, Academic, Bussines, yang kemudian ditambahkan satu unsur lagi yaitu Civil Society (Communities), menjadi Quadruple Helix. Unsur  Comunnities ini membuka peluang konfigurasi dan jejaring lintas disiplin, serta membebaskan konsep “inovasi” dari sekedar pertimbangan dan tujuan ekonomi, melainkan juga melibatkan kreativitas sebagai bagian dari proses produksi pengetahuan dan inovasi (Muhyi, Chan, Sukoco I,. & Herawaty, T. The Penta Helix Collaboration Model in Developing Center of Flagship Industry in Bandung City. Review of Integrative Bussines and Economic Reaserch, 6(1), 412-417). Lalu kemudian, Quadruple Helix ini ditambahkan satu unsur lagi yaitu Media (baik konvensional maupun media sosial) karena media memegang peranan yang sangat signifikan diera yang  serba digital ini.

Sinergitas ini menjadi sangat penting dilakukan dalam upaya memberantas korupsi, mengingat korupsi sudah menggurita, ibarat penyakit tumor yang menggerogoti tubuh dan harus ditangani dengan sangat serius. Singkatnya, beberapa bidang dalam konsep Penta Helix ini memiliki peran dan tugasnya masing-masing yang kemudian bersinergi antara satu dengan yang lain.

Pertama, Pemerintah (Gouverment/Political Power) berperan sebagai regulator sekaligus kontroler harus mampu memperkuat integritas lembaga-lembaga yang bertanggungjawab pada pelayanan publik, pengawasan internal, dan penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan lembaga kemasyarakatan, kemudian mendukung dan melindungi masyarakat sipil dan media yang bebas dari tekanan dan ancaman pada pengungkapan korupsi. Bukan malah sebaliknya, pemerintah sendiri yang kebingungan bagaimana caranya terlepas dari tekanan luar akibat dari kontrak politik tertentu. Sudah bukan rahasia umum lagi jika kita bicara soal pemerintah yang bersih dari sentuhan dan tekanan dari luar, seperti investor (luar maupun dalam) sudah sangat langka dijumpai karena seperti yang kita ketahui bersama, cost politik Indonesia yang sangat besar berpeluang besar pula masuknya para investor ke ranah tersebut. Mungkin kita harus kembali pada pemikiran politiknya Al Farabi dimana seorang pemimpin (dalam konteks ini perwakilan rakyat) seharusnya mempunyai kriteria kriteria khusus yang sangat ketat (lihat: Ara’ ahl al-Madinat al-Fadilah dan Al-Siyasat al-Madaniyyah) karena persoalan korupsi ini bukan hanya tentang sistem tapi integritas seorang pemimpin/pemangku kebijakan dan pembuat regulasi agar lebih bersih dan capabel dalam "berpuasa menahan godaan". Lebih jauh lagi, Allah SWT telah memerintahkan dalam surat Al-Baqoroh ayat 188,
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui"  (Q.S Al-Baqoroh:2/188) Semoga Allah Ta'ala selalu memberikan Indonesia pemimpin yang berintegritas serta seorang Protection Power yang sholeh-sholehah. Amin

Kedua, Akademisi (Academic/Knowledge Power) yang mengemban misi "mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagai bentuk amanah dari undang-undang, harus mampu membuat sebuah produk literatur tentang korupsi berbasis riset to riset, kemudian mendedikasikan dirinya secara sepenuhnya dalam upaya membuka selebar-lebarnya cakrawala dunia ke-korupsian kepada masyarakat dan bahkan pemerintah dari produk yang dibuat berbasis riset to riset tadi. Pekerjaannya sangatlah berat, karena beban tanggungjawab yang ia pikul bukan lagi soal kualitas ke-ilmuanan, tapi juga tanggungjawab ke-ilmuan yang telah dia peroleh selama kariernya di jenjang pendidikan tinggi. Sebab, sebagaimana Abu Hanifah dulu pernah mengatakan -yang diabadikan oleh muridnya- dalam kitab yang berjudul Al-'alim wa al muta'allim, bahwa "Tidak Ada Ilmu Melainkan Untuk Beramal Dengannya." dalam hal ini, Abu Hanifah seolah ingin menyatakan bahwa tidaklah berfaedah/bermanfaat ilmu seseorang apabila tidak diiringi dengan "amal/perbuatan" yang selaras dengan ilmu yang telah ia peroleh.

Ketiga, Masyarakat (Communities/Social Power). Berdasarkan undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam pasal 41 ayat (2 dan 5) menegaskan, bahwa masyarakat mempunyai hak dan kewajibannya dalam upaya pemberantasan korupsi, serta tata cara pelaksanaan peran masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang lebih lanjut di atur dalam PP no 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa Peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi diwujudkan dalam bentuk antara lain mencari, memperoleh, memberikan data atau informasi tentang tindak pidana korupsi dan hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Peraturan Pemerintah ini juga mengatur mengenai kewajiban pejabat yang berwenang atau Komisi untuk memberikan jawaban atau menolak memberikan isi informasi, saran atau pendapat dari setiap orang, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat. Sebaliknya masyarakat berhak menyampaikan keluhan, saran, atau kritik tentang upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengalaman dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa keluhan, saran, atau kritik masyarakat tersebut sering tidak ditanggapi dengan baik dan benar oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian, dalam rangka mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, pejabat yang berwenang atau Komisi pemberantasan tindak pidana korupsi diwajibkan untuk memberikan jawaban atau keterangan sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Kewajiban tersebut diimbangi pula dengan kesempatan pejabat yang berwenang atau Komisi pemberantasan tindak pidana korupsi menggunakan hak jawab berupa bantahan terhadap informasi yang tidak benar dari masyarakat. (lihat: PP No 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa Peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi).
Selain itu, masyarakat sipil, yang paling sering terjun ke-masyarakat tahu betul data empirik di lapangan. Masyarakat Sipil harus sesering mungkin melakukan riset dan rekomendasi kepada pemerintah serta melakukan advokasi terkait masalah-masalah yang ditemukan di lapangan. Idealnya, pemerintah harus membuka pintu selebar-lebarnya terhadap masyarakat sipil untuk memberikan pendampingan dan rekomendasi program, masalahmya sekarang adalah pemerintah "ke-seringan" menutup diri untuk mendengar keluh kesah masyarakat (dalam konteks ini direpresentasikan oleh masyarakat sipil berbentuk rekomendasi). Termasuk misalnya dalam pembuatan kebijakan, masyarakat sering tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan tersebut. Akibatnya produk undang-undang yang dihasilkan nihil riset dan bersebrangan dengan kebutuhan masyarakat karena assesmen yang dilakukan pemerintah tidaklah komprehensif. Oleh karenanya, masyarakat harus terus advokasi, dan pemerintah membuka terhadap kritik, aspirasi dan rekomendasi dari masymasyar sipil.

Keempat, Swasta/Pebisnis (Bussines/Economic Power). Mengingat korupsi ini tidak hanya terjadi dan dilakukan oleh pejabat negara sebab banyak kasus korupsi yang melibatkan sektor swasta seperti kasus suap, gratifikasi, pemerasan dan atau uang pelicin untuk kepentingan tertentu kepada pejabat negara, serta dalam mewujudkan corporate liability, Pada tahun 2014, KPK sempat mengeluarkan Surat Himbauan nomor B-33/01-13/01/2014 tentang Peran Serta Sektor Swasta dalam Tindak Pidana Korupsi yang ditujukan kepada Ketua KADIN Indonesia, para Ketua Organisasi yang tergabung dalam KONI serta kepada Para Pimpinan Sektor Swasta dan Korporasi dalam rangka menciptakan corporate liability untuk tidak melakukan suap, gratifikasi dll (lihat: Surat Himbauan KPK nomor B-33/01-13/01/2014).
Adalah hal yang naif apabila berbicara swasta maka berbicara soal pemodal yang mempunyai andil besar terhadap tindak pidana korupsi, tapi nyatanya seperti itu. Kasus korupsi lebih banyak terjadi karena keterlibatan swasta ke-dalam ranah politik, money politic, cost politic, kontrak politik, suap, gratifikasi, pelicinan uang, penggelembungan uang, megaproyek, pelelangan dll.
Persoalan keterlibatan pihak swasta adalah soal integritas, bukan lagi soal sistem. Karena mereka punya segala alat untuk "menjinakkan" pemerintah/pembuat kebijakan, menjinakkan masyarakat sipil, menjinakkan akademisi, Media dan bahkan mungkin bisa "menjinakkan komisioner KPK", sangat bisa terjadi bukan? Maka dari itu, yang lebih kita fokuskan adalah pembentukan karakter seorang "saudagar yang berintegritas" yang dilakukan sejak dini oleh kaum akademisi. Integritas seorang politisi juga dipertanyakan, bagaimana kemudian dia harus bisa menahan godaan para investor keji yang maruk pada bati/laba. Atau mungkin pemikiran Rizal Ramli terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi bisa kita kaji kembali, dimana setiap partai "digaji" oleh negara supaya dapat memenuhi kebutuhan partainya. Tujuannya agar para politisi dapat himbauan dari pimpinan partainya untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi, tapi balik lagi karena manusia adalah homo homonilupus, mereka akan terus berusaha mencapai titik klimaks kepuasan (yang tiada tara). Wallahu a'alam....

Kelima, Media (Social Media). Media saat ini kedudukannya sangat seksi karena dia bisa menggiring opini publik, "membenarkan yang salah, dan menyalahkan yang benar", Media juga dapat meningkatkan elektabilitas dan menjatuhkan kredibilitas seseorang hanya dalam waktu yang singkat. Tidak dipungkiri, sekarang media sudah dapat kita lihat bersama ada tendensi pada pihak tertentu atas intervensi dari luar (kekuasaan) sehingga mereka gugup dan gagap dalam menyampaikan kebenaran. Dari sini kita bisa melihat kredibilitas media dalam menjaga stabilitas negara, dia seharusnya independen, tidak boleh ada keberpihakan dan atau pro kepada masyarakat, ikut andil mengadvokasikan permasalahan masyarakat melalui framming media atas hasil rekomendasi dari lembaga masyarakat sipil, serta menjadi akselelator untuk mengusik kenyamanan penguasa yang duduk rebahan di singgasana.

Cegah Korupsi dari Ujung Jari! 
Konsepsi Diplomasi Penta Helix ini sangat krusial sekali untuk dilakukan, mengingat korupsi akan terus menggerogoti negeri. Pemerintah harus membuka ruang selebar-lebarnya pada masyarakat sipil, memberikan ruang kepada masyarakat sipil, tidak mengintervensi akademisi dan media serta harus menahan godaan dari para investor. Akademisi jangan sampai terintervensi, melakukan pencerdasan dan terus membuat produk pemikiran by riset. Masyarakat Sipil harus terus melakukan riset-advokasi-rekomendasi. Swasta harus mempunyai integritas sebagai negarawan yang dermawan, Media harus tetap independen atau bahkan pro terhadap permasalahan rakyat jangan sampai terintervensi oleh penguasa. Apabila semuanya berintegrasi, berkolaborasi untuk mencapai misi: Cegah Korupsi dari Ujung Jari!

Penulis teringat pada satu kisah pada zaman Nabi Muhammad SAW, tentang seseorang yang diangkat menjadi petugas pemungut zakat di Bani Sulaim, dia adalah Abdullah bin Al-lutbiyyah (Ibn Al-Atbiyyah) -yang kemudian kisah ini diabadikan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim-  kira-kira arti bunyi hadits nya begini:
Dari Abi Humaid as-Sa’idi ra (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah SAW mengangkat seorang lelaki dari suku al-Azd bernama Ibn al-Lutbiyyah untuk menjadi pejabat pemungut zakat di Bani Sulaim. Ketika ia datang (menghadap Nabi SAW untuk melaporkan hasil pemungutan zakat) beliau memeriksanya. Ia berkata: “Ini harta zakatmu (Nabi/Negara), dan yang ini adalah hadiah (yang diberikan kepadaku).” Lalu Rasulullah SAW bersabda, “jika engkau memang benar, maka apakah kalau engkau duduk di rumah ayahmu atau di rumah ibumu hadiah itu datang kepadamu?” Kemudian Nabi SAW berpidato mengucapkan tahmid dan memuji Allah, lalu berkata: “Selanjutnya saya mengangkat seseorang di antaramu untuk melakukan tugas yang menjadi bagian dari apa yang telah dibebankan Allah kepadaku. Lalu, orang tersebut datang dan berkata: “ini hartamu (Rasulullah /Negara) dan ini adalah hadiah yang diberikan kepadaku.” Jika ia memang benar, maka apakah kalau ia duduk saja di rumah ayah dan ibunya hadiah itu juga datang kepadanya? Demi Allah begitu seseorang mengambil sesuatu dari hadiah tanpa hak, maka nanti di hari kiamat ia akan menemui Allah dengan membawa hadiah (yang diambilnya itu), lalu saya akan mengenali seseorang dari kamu ketika menemui Allah itu ia memikul di atas pundaknya unta (yang dulu diambilnya) melengkik atau sapi melenguh atau kambing mengembik… (HR. al-Bukhari dan Muslim). Lantas Rasulullah saw menggunakan media pidato untuk mengumumkan kepada publik bahwa ada yang telah melakukan korupsi dengan tujuan agar khalayak tau dan memberikan efek jera kepada Ibn Al-Atbiyyah bersama keluarganya yang menanggung malu atas perbuatannya itu.

Linear dengan hadist tersebut, Allah SWT telah menginstruksikan kepada kita semua atas pembalasan/sanksi yang harus diterapkan kepada pada koruptor/pembuat kerusakan di muka bumi, yang tertuang dalam surat Al-Maidah ayat 33:
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
"Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar." (Q.S Al-Maidah:5/33)
Mungkin salah satu cara efektif untuk memberantas kasus korupsi adalah pemberian efek jera, dan jera yang paling efektif kepada para tindak pidana korupsi adalah hukuman/sanksi yang berat: Qisas. Sebagaimana yang termaktub di dalam surat tersebut. Wallahu a'lam.... 
SHARE

Dewana R Triyana

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image

2 komentar:

Ferdyans mengatakan...

Padahal tulisan ini anda tuju untuk semua kalangan. Bukan hanya mereka yang memiliki title intelek saja. Tapi masyarakat pada umumnya. Isinya menarik namun bgtu banyak kata2 berat yang membuat seseorang bertanya2 ketika membacanya. Ini apa yah artinya terus ini apa yah kok bgini sih. Jadi jika anda ingin mengajak si pembaca untuk masuk kedalam cerita anda maka anda juga harus menggunakan strategi yang tepat. Karena tulisan itu dilihat bukan dari kata2 inteleknya tapi bagaimana pesan yang disampaikan didalamnya. Sekian terimaksih.!!

Sherly mengatakan...

Dari judul nya membuat orang penasaran, setelah dibaca menarik, tetapi banyak betul kata kata yang sulit di mengerti.